Powered By Blogger

Senin, 31 Oktober 2011

10 November, 30 tahun silam


NOV
10

Refleksi 10 November, Enam Puluh Tiga Tahun Silam

Kisah heroik 63 tahun silam di Surabaya, meninggalkan jejak-jejak sejarah yang masih melekat dalam sanubari bangsa. Heroisme dan patriotisme para pahlawan yang hanya bermodal peralatan sederhana, seperti bambu runcing, berani memerangi tentara Sekutu yang bersenjata jauh lebih mutakhir. Para pejuang bangsa tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Masih ingat tokoh terkenal Bung Tomo, yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya di radio?

Perang di kota Surabaya melibatkan konspirasi pasukan sekutu dengan 30.000 serdadu (26.000 didatangkan dari Divisi ke-5 dengan dilengkapi 24 tank Sherman) dan 50 pesawat tempur dan beberapa kapal perang. Inggris menduga 3 hari Surabaya bisa ditaklukkan, namun kenyataannya memakan satu bulan sampai akhirnya Surabaya kembali jatuh ke tangan sekutu dan NICA.

Rakyat Indonesia marah mendengar konspirasi tersebut sehingga perlawanan terhadap Inggris dan NICA tetap berlanjut yang memuncak ketika pimpinan sekutu wilayah Jawa Timur, Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh 30 Oktober di Surabaya. Inggris dan NICA melalui Mayor Jenderal Mansergh yang menggantikan Mallaby mengultimatum rakyat Indonesia untuk menyerah sampai batas akhir tanggal 10 November pagi hari. Namun di batas ultimatum tersebut rakyat Surabaya menjawabnya dengan meningkatkan perlawanan secara besar-besaran, salah satu pimpinan perlawanan tersebut adalah Sutomo, dikenal sebagai Bung Tomo (yang menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada tahun 1995 oleh presiden Suharto, baru tahun 2008 ini akan diangkat secara resmi menjadi Pahlawan Nasional).

Perang ini menimbulkan perlawanan lain di semua kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung sampai dengan aksi membakar kota 24 Maret 1946 dan Mohammad Toha meledakkan gudang amunisi Belanda, Palagan Ambarawa, Medan, Brastagi, Bangka dan lain-lain. Perlawanan ini terus berlanjut, baik dengan senjata maupun dengan negosiasi para pimpinan negeri seperti perjanjian Linggarjati di Kuningan, perjanjian di atas kapal Renville, perjanjian Roem-Royen sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Empat tahun revolusi yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga akhirnya momentum 10 November dijadikan Hari Pahlawan. Dari fakta sejarah di atas bisa kita simpulkan, bahwa ancaman pertama kemerdekaan Indonesia bukan hanya Belanda ingin menguasai kembali, namun sekutu yang dipimpin Amerika memiliki kepentingan tersendiri di Indonesia.


BUNG!

Dengan heroisme, kita bangga berbangsa. Apabila tugas memanggil, kita tidak ragu untuk berjuang. Bangsa ini telah membuktikan diri menjadi bangsa pejuang. Melalui perjuangan kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Lalu perjuangan 10 November 1945 yang berhasil mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, meskipun harus ditebus dengan darah dan jiwa. Bila kita mengenang jasa para pahlawan, selalu menimbulkan keharuan mendalam. Bagaimana tidak, saat itu apalah yang dipunyai? Harta? Pastilah bukan. Keduniawian saat itu bukan issu sama sekali. Tetapi, justru ada harta lain yang lebih bernilai, yakni semangat juang dan kesediaan berkorban untuk satu cita-cita kemerdekaan. Ketika sebutan "BUNG" diteriakkan secara tulus, di antara sesama pejuang dan rakyat, bagaikan magnet yang begitu kuat mengikat batin bapak-bapak kita. Itulah sebenarnya esensi kepahlawanan yang sampai kapan pun tetap akan aktual dan relevan. Semangat juang dan kerelaan untuk berkorban apa saja, harta benda, bahkan jiwa raga.

Lukisan kepahlawanan di medan laga akan selalu menyentuh. Romantikanya banyak kita jumpai dalam lagu-lagu perjuangan, seperti yang banyak terdapat dalam lagu-lagu ciptaan komponis Ismail Marzuki. Selendang Sutra berkisah tentang selendang sutra dari kekasih yang berjasa untuk membalut lengan yang luka parah. Melengkapi pelukisan kepahlawanan, tentu harus juga disebut pahlawan lain yang tidak berasal dari medan laga, tetapi dari medan diplomasi. Kita juga mengakui jasa para pejuang yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial di meja perundingan, di Linggarjati maupun di Den Haag. Baik di medan laga maupun di medan diplomasi, para pahlawan kita di masa lalu telah memperlihatkan tekad, keberanian, dan jasa yang luar biasa.
Oleh karena itu, marilah dengan khidmat kita mengenang kebesaran sejarah bangsa kita, Berterima kasih kepada para pahlawan kusuma bangsa, kepada para pendiri republik, kepada para pendahulu dan pemimpin-pemimpin yang sejak kemerdekaan telah memimpin negeri kita. Para pemimpin dan pejuang yang telah menyatukan kedaulatan negeri mulai dari Sabang sampai Merauke. Negeri Indonesia yang tebingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita pun bertafakur, melihat masa lalu, mengambil pelajaran, yang baik-baik kita teruskan, tidak baik kita perbaiki.